Momentum Hari Kartini yang diperingati setiap tanggal 21 April, Pusat Kesehatan Wanita dan Anak Indonesia (PUSAKA HATI) mendorong kesetaraan akses layanan kesehatan.
PUSAKA HATi menilai sampai sekarang diskriminasi layanan kesehatan, terutama bagi wanita dan anak masih terjadi. Utamanya adalah soal kesehatan reproduksi.
“Saya kira, di momen Hari Kartini ini, kami, PUSAKA HATI mendorong agar tidak ada lagi diskriminasi akses layanan kesehatan bagi perempuan. Masih banyak dijumpai, perempuan harus mengalah dalam perolehan informasi,akses dan asuransi kesehatan”ujar Dr.dr. Ika Dewi Subandiyah, M.Epid (Direktur Eksekutif PUSAKA HATI).
Diskriminasi akses layanan kesehatan sendiri adalah praktik pembedaan dan perlakuan tidak adil terhadap seseorang atau perempuan dan kelompok tertentu dalam mengakses layanan kesehatan. Ini dapat terjadi karena berbagai faktor seperti status sosial ekonomi, ras, agama, orientasi seksual, dan cacat fisik atau mental.
Dampak diskriminasi akses bisa sangat serius, termasuk menghambat akses terhadap perawatan medis yang diperlukan, mengurangi kualitas hidup, dan memperburuk kesehatan secara keseluruhan.
Lebih lanjut dipaparkan oleh dokter Ika Dewi bahwa berdasarkan survei kesehatan Indonesia tahun 2023, menunjukkan bahwa sekitar 64,4% perempuan usia 10-19 tahun pernah hamil dan 12,8% sedang hamil, dengan 40% di antaranya adalah kehamilan tidak diinginkan. Selain itu,banyak kasus jika ada penyakit terkait organ reproduksi,misalnya kanker leher rahim,perempuan mendapatkan stigma dan diskriminasi.
“Hal itulah yang menyebabkan perempuan seringkali takut untuk memeriksakan kesehatannya”tambahnya.
Penelitian di salah satu kota menunjukkan bahwa pengetahuan kesehatan reproduksi pada 85% remaja perempuan masih kurang. Begitu juga, rendahnya pemanfaatan layanan kesehatan reproduksi oleh remaja juga menjadi perhatian, dengan persentase pemanfaatan yang rendah di berbagai wilayah.
“Perempuan sering mendapatkan diskriminasi dalam memperoleh informasi kesehatan. Sebagai contoh, banyak Perempuan tidak bisa memutuskan penggunaan kontrasepsi secara mandiri. Dengan berpihak dengan data-data di atas, sudah seharusnya terus dilakukan edukasi secara massif terkait kesehatan reproduksi dan terus mendesakkan, mendorong agar pemerintah berikan akses yang setara bagi mereka,” pungkasnya.